Tuesday, May 18, 2010

Perjalanan Hidup Mama Lauren



Artikel ini saya ambil dari tabloid Nova, berisikan Perjalanan Kisah Hidup Mama Lauren.. dimana beliau telah berpulang kemaren senin 17 mei 2010, pukul 21.37 dikarenakan penyakit paru-paru yang sudah di deritanya. Inilah perjalanan Hidup Mama Lauren :

Mama Lauren lahir di Eindhoven, 23 Januari 1932, jalan hidup putri pasangan Anna Breche dan Lau van Hooff ini membawanya ke Indonesia. Jika di negeri asalnya kemampuan untuk meramal dianggap aneh, maka di Indonesia, ia justru “disambut” hangat.
Enam bulan lalu, stroke kembali menyerangku. Penyakit gula yang kuidap sejak bertahun-tahun lalu pun seakan semakin kuat menyerang tubuh renta ini. Namun, kini sudah mendingan. Jika sebelumnya aku sempat dirawat total di rumah sakit, maka sekarang aku sudah bisa pulang. Di rumah, selain minum obat, aku juga semakin rajin menjaga asupan makanan.
Makananku sekarang benar-benar diatur. Pagi hari, aku makan havermut. Siang makan nasi lunak dengan sup dan ayam rebus. Sore makan snack ringan atau bubur sumsum. Malam hanya makan roti atau nasi lembek lagi. Aku baru saja periksa darah, dan kadar gulaku sudah di angka 130, mendekati normal, kan?
Sebenarnya, serangan stroke kali ini bukan yang pertama menyerangku. Sepuluh tahun lalu aku juga pernah terserang stroke. Ketika hendak bangun tidur, tubuhku kaku. Kaki dan tangan sebelah kiri juga lumpuh dan mati rasa. Menurut dokter, kala itu terjadi pembengkakan jantung. Mereka sudah menyarankan aku untuk dioperasi, tapi aku tolak mentah-mentah.


Aku enggak percaya jika operasi bisa menyembuhkan. Aku yakin, penyakit ini muncul karena memang sudah saatnya dan karena faktor usia. Yang penting aku tetap minum obat dan menjaga makanan.

Kemampuanku ini merupakan keturunan dari nenek moyang.
Bila melihat ke belakang, aku sebenarnya sedikit kaget dengan perjalanan hidupku ini. Aku benar-benar tak pernah menyangka bisa tinggal di Indonesia dan menjadi terkenal seperti saat ini. Entah mengapa, sejak diminta bantuan oleh sebuah harian ibukota untuk menjadi peramal di tahun 80-an, maka semakin banyak saja orang datang meminta pertolongan untuk keluar dari berbagai masalah yang mereka hadapi. Mulai dari persoalan bisnis hingga urusan keluarga. Baik orang biasa, maupun tokoh ternama.
Ternyata, semakin lama aku sadar, banyak sekali orang yang memiliki beban hidup di luar batas kemampuan mereka. Meski awalnya sempat merasa sedih mendengar berbagai keluhan mereka, hal itu yang kemudian sedikit demi sedikit membuat diriku tegar dalam menghadapi hidup.
Tapi, jujur saja sebenarnya aku agak keberatan jika disebut paranormal. Terkesan abnormal alias tidak normal. Lagi pula ilmu yang kumiliki ini bukanlah sesuatu yang klenik. Kalau pun ada hal baik atau buruk terjadi pada manusia, itu adalah akibat ulah manusia itu sendiri.
Soalnya, yang kulihat pun selalu memiliki keterkaitan satu sama lain. Baik terhadap alam, hewan ataupun antar manusia. Di usia yang tak lagi muda, aku masih terus belajar dari kehidupan. Dari begitu banyak peristiwa yang telah aku alami, aku juga sadar bahwa hidup ini akan selalu berputar.

Sekarang aku sedang menyiapkan penerusku di bidang ini. Bukan cucu atau cicit, bukan pula keluarga. Sebetulnya, ketika aku berusia 15 tahun, aku sudah mengetahui gambarannya. Dia adalah Beby Djenar, seorang yang aku temui secara tidak sengaja. Gambaran Beby mirip sekali dengan apa yang aku lihat ketika itu.
Aku bertemu Beby sekitar dua tahun lalu. Saat itu ia mengantar saudaranya untuk menemuiku untuk meminta bantuan memecahkan sebuah masalah. Ketika ia memasuki ruangan, aku langsung berkata. “Mengapa kamu datang menemui saya? Bukankah kamu sendiri bisa?” Beby kaget, ketika aku bisa melihat kemampuannya. Ternyata selama ini ia takut mengatakan semua yang dilihatnya. Setelah beberapa kali berkonsultasi denganku, aku membuatnya percaya diri dan berani mengatakan apa saja yang dilihatnya.
Penerusku nanti memang harus perempuan, karena hanya perempuan yang bisa sabar dalam melihat dan menyampaikan beragam terawangan yang ada. Kebetulan aku melihat kemampuan itu di dalam dirinya. Bagai radio, aku dan Beby memiliki frekuensi yang sama. Aku melihat, semakin ia berumur, kemampuannya akan semakin bertambah. Kemampuannya tak hanya berguna bagi negara saja, tapi juga dunia.
Hanya saja, ia masih kurang berani mengatakan apa yang ia lihat, dan harus terus kuberi dorongan. Ia masih kurang tegas. Sebaiknya, tidak boleh pakai kata “mungkin”, harus “iya atau tidak”. Sebab, vision apapun yang ia lihat, itu pasti akan berguna. Bukan hanya bagi orang per orang, tapi juga masyarakat luas. Misalnya, seperti akan ada gunung meletus atau tsunami seperti yang terjadi di Aceh beberapa waktu lalu.

Sejak kecil aku sudah merasakan mempunyai kemampuan yang tidak dimiliki orang lain. Berbagai kejadian yang aku alami pun membuat aku cepat dewasa. Apalagi, saat itu situasi Eropa sedang Perang Dunia II. Situasi itu membuat aku tumbuh menjadi gadis pemberani.
Kemampuan yang aku miliki pun semakin tajam seiring dengan bertambahnya usia. Aku ingat, ketika usiaku masih 7 tahun, sekitar tahun 1939 ketika sedang mengikuti pelajaran, aku mendengar bisikan yang memintaku untuk secepatnya keluar dari kelas.
Oleh karena masih kecil dan masih dalam kebingungan, aku justru jadi terdiam dan bimbang. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Namun, karena peringatan itu terus saja terngiang, aku memberanikan diri untuk menyampaikan hal itu kepada guru. Ternyata, oleh guru aku dianggap mengganggu dan diusir pulang.
Sambil menangis, aku pulang ke rumah. Tak berapa lama, bisikan itu terbukti. Sebuah kabar mengenaskan tersebar, sekolah terkena bom. Orang-orang yang ada di dalam gedung sekolah tak ada yang sempat melarikan diri. Akibat kejadian itu, aku semakin menyadari, aku mempunyai sesuatu yang tak dimiliki orang lain. Sejak itu pula, berbagai peristiwa semakin sering bermunculan berupa gambar atau suara.

Beruntung aku memiliki Oma Antoineta. Hanya beliau yang mengerti apa yang yang aku rasakan. Beliau lah orang pertama yang memberikan dukungan. Aku masih ingat Oma berkata, hal itu adalah sesuatu yang diturunkan oleh nenek moyangku yang berasal dari kaum gypsy, yang dianugerahi bakat khusus untuk bisa melihat masa depan.
Memasuki masa remaja, kemampuan itu sempat terlupakan. Waktuku habis untuk belajar dan bekerja. Maklum saja, saat itu bisa dibilang aku sudah harus mandiri. Sejak usia tiga bulan, aku sudah ditinggal Mama untuk selama-lamanya.
Setelah Mama meninggal, Papa menikah dengan adik Mama dan kemudian mempunyai seorang anak perempuan. Sementara, dari pernikahan Papa yang pertama sebelum menikah dengan Mama, Papa punya tiga anak. Dan aku bisa dibilang tak begitu dekat dengan orangtua. Sampai usiaku 6 tahun, Papa meninggal dunia akibat sebuah kecelakaan. Aku dan adik tiri kemudian tinggal bersama adik Papa untuk diurus oleh Oma dan Opa.
Sampai kemudian jalan hidup kembali bergejolak ketika aku berusia 16 tahun. Oma meninggal, dan aku dimasukkan ke sebuah asrama. Oleh karena tak betah, aku memutuskan untuk lari dari asrama dan tinggal seorang diri. Beruntung sekolah tak pernah memungut bayaran alias gratis. Sehingga pengeluaranku tak terlalu besar. Untuk memenuhi pengeluaran, aku memiliki dua pekerjaan. Pagi bekerja di sebuah restoran sebagai pencuci piring dan sorenya menjadi kasir di sebuah toko sepatu.
Diantara waktu itu, aku menyisakannya untuk belajar. Sehingga masa remaja itu tak bisa dihabiskan untuk bersenang-senang layaknya remaja seumuranku saat itu. Sampai aku pun tak pernah tahu dan merasakan apa yang dinamakan jatuh cinta.

Demi mencapai kebahagiaan, tak jarang manusia harus melewati berbagai hambatan dan rintangan. Bagi Mama Lauren, rintangan itu adalah ketika harus berulang kali kehilangan orang yang dikasihi. Lantas, bagaimana cara Mama Lauren mengatasi rintangan yang menerpanya?
Teman adalah harta yang paling berharga. Meski hidup sebatang kara, aku sangat bersyukur memiliki banyak teman. Di antara teman dan kenalan yang banyak memberikan bantuan kepada diriku, salah satunya adalah Profesor Van der Berg. Orang yang benar-benar aku kenal secara tak sengaja. Beliau seorang ahli parapsikologi, dan beliau lah yang kemudian menjadi pembimbingku. Hingga kemudian aku tertarik dan ingin menekuni ilmu parapsikologi di Universitas Leuven, Belgia.
Ketika kuliahku akan selesai, Prof. Van der Berg, meninggal dunia. Kejadian ini langsung membuat semangatku kembali meredup. Di saat itulah, secara tak sengaja aku berkenalan dengan seorang pria asal Indonesia bernama Natakusuma.
Pria itu bisa membuat semangat hidupku kembali bangkit. Pria itu juga yang membuatku mengenal kata cinta. Syukur, cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Nata melamarku untuk menjadi istrinya. Tahun 1952, tepat di usiaku yang ke 20, kami menikah. Setahun kemudian, aku dibawa ke Indonesia.

Pertama menginjakkan kaki di Indonesia, aku benar-benar merasa asing. Banyak hal yang harus aku pelajari, sebelum akhirnya kini aku bisa menyebut negara ini sebagai negaraku. Sedikit demi sedikit aku mulai belajar berbagai hal tentang Indonesia. Bahasa serta budaya Indonesia yang berbeda dan tak pernah aku ketahui sebelumnya.
Jangan dikira jika kehidupan kami ketika itu serba mewah atau kecukupan. Nata yang baru saja memulai kariernya sebagai seorang arsitek, belum juga mendapat proyek. Akhirnya, di Jakarta kami terpaksa harus hidup berpindah-pindah. Bahkan pernah menyewa garasi yang kemudian disulap menjadi rumah tinggal.
Hal ini berlangsung selama lima tahun. Sampai kemudian berubah setelah Nata mengajakku pindah ke Kotabumi, Lampung Utara. Kami bisa memiliki rumah tinggal tetap. Di Lampung pula keluarga kami mendapatkan anugerah seorang pria tampan bernama Mario Lorens Natakusuma, buah cinta kami berdua.
Dua tahun di Lampung, Nata memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Nata yang selama ini sangat mendukung “kemampuan” aku, akhirnya membawaku untuk berkenalan dengan Pak Rahim, paranormal terkenal. Nata berharap, melalui Pak Rahim aku mampu mengasah kemampuanku.

Nata memang sangat sadar dan tak segan mendorongku untuk terus mengembangkan kemampuan ini. Apapun nasihat dan saranku kepadanya, selalu diterima dengan baik. Hanya sekali ia mengabaikan peringatan yang aku sampaikan, dan siapa sangka justru itu membawa efek yang besar bagi kehidupan kami.
Ceritanya, sekitar tahun 1965 aku melarangnya mengambil sebuah tawaran proyek dari Istana Negara. Aku katakan kepadanya, aku merasa kurang sreg dengan proyek itu. Sayangnya, Nata enggan mengikuti saranku. Sampai kemudian, meletus peristiwa G-30S. Terjadi kekacauan, proyek Istana Negara yang sedang digarapnya ikut terkena imbas. Akibatnya, perekonomian keluarga kami kembali terancam karena perusahaannya jatuh.
Tahun 1973, tepatnya pada 23 Februari, aku melihat Nata terduduk dengan mata terpejam, bagai sedang tertidur pulas. Begitu aku dekati, ternyata ia sudah pergi. Hatiku kembali hancur, aku kembali ditinggalkan seorang yang aku cintai. Peristiwa ini sebenarnya sudah muncul dalam “vision” yang aku alami setahun sebelumnya. Bahkan ketika itu, aku sudah mengingatkan Nata untuk memeriksakan kesehatannya. Tapi, ia enggan mengikuti saranku.
Tanpa Nata, hanya Mario yang membuatku harus terus melanjutkan hidup. Tak ada yang bisa menggambarkan apa isi hatiku saat itu. Terlebih semua harta peninggalan Nata, termasuk rumah yang kami tinggali, disita bank untuk melunasi hutang perusahaannya. Berbagai pikiran positif dan negatif terus berkecamuk dalam kepala. Sungguh, aku tak tahu harus berbuat apa.
Kembali, berkat bantuan seorang teman, kami dapat menyewa sebuah kamar di kawasan Jakarta Selatan. Di kamar kecil itulah, aku perlahan-lahan bangkit. Aku seakan tersadar untuk terus berjuang menghidupi keluarga kecil ini. Setelah memutar otak, sedikit uang sisa pinjaman dari teman tadi kujadikan modal dagang. Tanpa ragu dan malu, aku menjadi pedagang dari pintu ke pintu. Seiring waktu, aku mulai memiliki pelanggan dan isi daganganku pun bertambah.

Suatu ketika, sekitar tahun 1978, sebuah perusahaan di kawasan Cibinong dirampok. Seorang pedagang kopi bubuk yang mengetahui kemampuanku, menawarkan bantuanku kepada direktur pabrik. Dari penerawangan yang kulakukan, aku mengetahui siapa pelaku dan orang-orang yang terlibat di dalam aksi itu. Setelah diselidiki lebih dalam, ternyata terawanganku terbukti benar.
Peristiwa itu ternyata menarik sebuah harian ibu kota bernama Buana Minggu untuk memuatnya. Dari situlah aku mulai dikenal orang. Oleh harian itu pula aku sampai dibuatkan ruangan khusus di kantornya untuk menerima klien. Meski aku tak meminta bayaran, ternyata banyak klien yang memberikan sejumlah uang. Sejak itu, perlahan tapi pasti, kehidupan keluarga kecilku menjadi lebih baik.

Suatu ketika, kembali berkat bantuan seorang teman, aku diperkenalkan dengan seorang pria bernama Hendrik Pasaribu. Ketika melihat dan bertemu pria yang 15 tahun lebih muda itu, entah mengapa aku kembali merasakan cinta. Pada pertemuan pertama itu, aku merasa sudah seperti mengenal lama dirinya, ia pun mengaku tak asing lagi bertemu dengan diriku. Ketika itulah, aku yakin Hendrik adalah jodohku. Ya, aku sangat percaya pada reinkarnasi.
Hendrik kemudian melamar dan menikahiku pada 29 Mei 1982, kala itu umurku sudah 50 tahun. Tak berapa lama, Mario pun menikah dan kini telah memberiku dua orang cucu yang sehat dan lucu. Nuh Prabawa lahir di tahun 1982 dan Kreshna di tahun 1983.
Menjelang kelahiran cucu kedua, aku mendapat “vision” buruk. Ketika itu aku melihat Mario di dalam peti mati di sebuah altar. Betul saja, pada 4 Oktober 1985 pagi, “vision” itu menjadi kenyataan. Ketika itu aku diberitahu pihak kepolisian bahwa Mario terluka parah akibat kecelakaan lalu lintas di Tangerang.
Aku langsung pergi ke rumah sakit tempat Mario dirawat. Akibat lukanya, kondisi Mario saat itu amat kritis. Di tengah-tengah penderitaannya, Mario sempat berpesan agar aku merawat Nuh dan Kreshna. Sebab, ibu dari dua anaknya juga sudah meninggalkan mereka bertiga, untuk memulai kehidupannya yang baru. Usai menitipkan pesan, Mario jatuh koma dan meninggal dunia. Kepergian Mario, benar-benar membuatku kembali hancur, di saat aku sedang mengumpulkan keping demi keping kebahagiaan hidup.
Namun, beruntung aku memilki Hendrik, Nuh dan Kreshna. Mereka lah yang kemudian membuatku berhasil bangkit dari keterpurukan. Mereka lah yang kini membuat hidupku lengkap. Terlebih kemampuanku semakin banyak diminati. Hingga aku sudah tak bisa merasakan lagi hari libur dan tak lagi larut dalam kesedihan. Meski terkadang aku merasa lelah, tapi ketika melihat keluarga kecil ini, semua lelah pun menghilang.
Akibat kesibukan itu, aku lupa pada diri sendiri. Hingga akhirnya lalai untuk menjaga kesehatan. Sejak terkena stroke untuk yang kedua kalinya ini, aku benar-benar istirahat dan tak lagi menerima klien. Tinggal menikmati hidup saja di rumah, dan bersantai bersama Hendrik. Nuh dan Kreshna juga sudah besar dan memilki kehidupannya masing-masing. Di hari tuaku ini, aku hanya ingin benar-benar menikmatinya dengan berada di dekat orang-orang yang kukasihi dan mengasihiku.

0 comments:

Post a Comment