Yap.. hari ini saya mau mencoba berbagi kepada teman2 semua disini. Suatu tulisan kritis dari seseorang Guru di SMU Kolese De Britto Jogjakarta, yang dulu juga merupakan tempat saya menimba ilmu. Guru ini dulu salah satu guru favorite saya, guru kritis, penuh kata2 bermakna dan sangat berwibawa, yah waktu itu saya selalu menganggap beliau paling dewasa diantara guru yang lain. Sewaktu saya lulus dari SMU tersebut, saya selalu mengikuti Rubrik Artikelnya di salah satu koran daerah, cmn karena saya "diharuskan" untuk berpindah dari koran 1 ke koran lainnya, maka hilang sudah wacana favourite saya itu. Nah kali ini saya kebetulan menemukan artikel tulisan kritis beliau, maka saya mencoba sedikit berbagi kepada teman2 semua disini, yukk mari di baca agar semakin membuka cakrawala pikiran kita. ^_^
Bagaimana tanggapan kita terhadap pe ngelom pokan siswa yang pintar dan kurang pintar dalam kelas berbeda? Pertanyaan itu mengemuka dalam forum guru banyak sekolah, di Sleman, seminggu sebelum liburan berakhir. Asal-muasal pertanyaan berawal dari pengalaman di sekolah sendiri atau bisa juga melihat yang diterapkan di sekolah lain.
Ada bermacam-macam alasan yang dikemukakan ketika sebuah sekolah mengelompokkan siswa ke dalam kelas pintar dan kurang pintar. Satu alasan demi memudahkan pencarian siswa untuk me wakili sekolah dalam lomba-lomba kepandaian antarsekolah, alasan lain demi memudahkan guru yang mengajar di kelas, pun ada alasan demi menaikkan gengsi sekolah jika segelintir siswa pintar diekspose untuk berbagai perlombaan yang membawa nama sekolah.
Lain lagi cerita seorang rekan guru di seberang pulau yang harus bersitegang dengan kepala sekolah pada hari pertama, hanya karena sang kepala sekolah kurang memperhitungkan sebaran karakter dan latar belakang siswa ketika membagi kelas. Kepala sekolah atau guru yang tidak mengenal setiap pribadi siswanya pasti akan abai memperhitungkan faktor pemerataan karakter siswa demi terciptanya kelas yang hidup.
Guru ini menganggap penting kelas yang berisi beragam siswa, baik tingkat kecerdasan maupun kecenderungan perangai siswa. Pun, beranggapan bahwa kelas yang baik mestinya terjadi proses saling melengkapi antarpribadi siswa di dalamnya. Para guru di sekolah yang melakukan pengelompokan siswa semacam itu tahu membedakan rasanya mengajar di kelas-kelas pintar atau kurang pintar.
Di kelas yang berisi anak-anak yang tergolong pintar, guru dimudahkan dan disenangkan dalam banyak mengajar. Untuk kelas pintar, para guru akan menyanjung-nyanjung setiap prestasi yang dicapainya. Lain halnya ketika mengajar di kelas yang terlanjur dilabeli kelas kurang pintar, bahkan penuh problem. Ketika akan memasuki kelas yang terakhir ini sebagian guru menggerutu dan kehilangan gairah mengajar.
Jika pemilahan siswa yang pintar dan kurang pintar akhirnya memunculkan diskriminasi perlakuan guru terhadap siswa, orang tua manakah yang rela anaknya menjadi bahan percobaan dan diperlakukan tidak adil di sekolah? Guru manakah yang sanggup mengembalikan hakikat pendidikan yang memberikan penghargaan kepada setiap pribadi siswa? Ketidakrelaan para orangtua akan perlakuan yang diterima anaknya mestinya diikuti evaluasi dan penjernihan kembali pemikiranpemikiran yang mendasari pengelompokan siswa pintar dan kurang pintar.
Penelitian Carl Glickman (1991) menyimpulkan, tidakada keuntungan yang diperoleh dengan menempatkan siswa ke dalam kelas berdasarkan kemampuan akademisnya. Siswa yang berprestasi lebih tinggi tidak menunjukkan adanya peningkatan yang lebih baik ketika ia bersama dengan siswa-siswa yang berprestasi sama tingginya. Di sisi lain, siswa yang prestasi belajarnya kurang justru semakin menurun prestasi belajarnya ketika ia dikelompokkan dengan siswa lain yang memiliki prestasi setara.
Ada kebosanan yang dirasakan dalam kelas yang kurang pintar. Para siswa di kelas demikian mempunyai gambaran diri buruk, tidak sehebat kelas pintar. Kelas campuran dengan siswa yang beragam kemampuan akademiknya justru memunculkan persaingan yang berdampak positif.
Yang kurang pintar akan terpacu untuk belajar keras karena ada model teman sebaya. Pun, bagi mereka yang pintar, sekelas dengan yang kurang pintar menjadi kesempatan untuk mengasah hati dan kepeduliannya kepada sesama yang butuh bantuan.
Hal terakhir inilah yang sering dilupakan sebagai tugas sekolah yakni sekolah tidak pertama-tama mendidik yang sudah pintar, tetapi mendidik siswa dengan tingkat kemampuan seperti apapun. Sekolah bukan hanya memintarkan, tetapi juga mengasah hati siswa. Orang tua mana yang rela anaknya dicap tidak pintar?.
St. Kartono
Guru SMA De Britto,
Jogja
source : Harjo
0 comments:
Post a Comment