Sunday, April 3, 2011

Baju Couple


buat kamu2 yang suka kompak dengan pasangan dan saling sayang, ini dia kaos buat kalian yang bikin makin lengket dengan pasangan dan makin kompak aja...
langsung aja liad katalognya di www.bajucoupleonline.com !!
update setiap minggu lo, bagus-bagus, murah-murah, dan terpercaya ^_^

Yuuu di order ^^
Read More..

Saturday, August 7, 2010

Pencerahan Bagi Pembohong

Orang yang sering berbohong akan membuat orang lain merasa benci. Hampir semua orang pernah mendengarkan kisah seorang pengembala yang berbohong ternaknya diserang serigala. Orang yang sering berbohong tidak akan dipercaya oleh kita semua, pada akhirnya yang rugi adalah diri sendiri.

Sebenarnya orang yang senang sekali berbohong, juga telah mencerminkan watak dan moralitas serta pengasuhan diri orang tersebut. Di zaman sekarang yang mengutamakan kepentingan materi dan nafsu keinginan, seringkali selaku orang tua, agar anak-anaknya kelak tidak dirugikan dalam masyarakat, lalu secara tidak sengaja, baik lisan maupun praktek mengajarkan mereka cara berbohong.

Untuk melindungi diri sendiri, acapkali ucapan yang keluar mengandung kebohongan. Hal ini sudah sering terjadi, merupakan suatu fenomena yang sangat umum. Orang zaman dahulu mendidik anak-anak mereka menuntut kebenaran dan kejujuran, bicara harus berdasarkan fakta yang ada, tidak boleh sembarangan. Ini adalah cara mendidik ortodoks yang sebenarnya.

Kisah di bawah ini berisikan pencerahan bagi orang yang berbohong :

Rahula, anak Budha Sakyamuni (Sidharta Gautama) ketika masih belum menjadi biksu, pada tahun di mana sang Budha mencapai pencerahan, Rahula yang masih belia juga pergi menjadi biksu kecil, dia mengangkat Sariputta menjadi gurunya.

Anak yang baru berusia belasan tahun itu, masih mempertahankan sifat kekanak-kanakannya yaitu senang bersenda gurau. Sifat tersebut tidak bisa diubah dalam jangka waktu yang singkat.
Rahula berada dalam lingkungan yang begitu hening dan berwibawa, tidak ada permainan yang bisa memuaskannya, karena itu dia merancang sebuah permainan yang mengasyikan bagi dirinya.

Setiap kali ada pengunjung yang datang dan bertanya keberadaan sang Budha, maka Rahula selalu membohongi mereka. Sang Budha yang tengah membaca di bawah pohon, akan dia katakan bahwa sang Budha sedang bermeditasi di pinggir kolam. Jika sang Budha sedang memberi ceramah kepada para murid di dalam kamar, dia menunjuk ke arah yang jauh dan berkata bahwa sang Budha sedang menyebarkan ajaran-Nya di suatu tempat.

Melihat pengunjung sibuk kian kemari mencari keberadaan sang Budha, Rahula tertawa riang dan mengejek kebodohan sang pengunjung itu.

Setelah sang Budha mengetahui perilaku Rahula yang suka berbohong itu, dia memikirkan sebuah cara untuk mendidik anak tersebut. Suatu hari sang Budha menyuruh anak tersebut mengambil satu ember air bersih, yang lalu digunakan untuk mencuci kaki. Setelah selesai mencuci kaki, sang Budha berkata kepada Rahula, “Minumlah air dalam ember ini.”
Rahula menjawab, “Air bekas mencuci kaki sangat kotor, tidak boleh diberikan kepada orang lain untuk diminum.”

Sang Budha berkata, “Rahula, ucapanmu bagai seember air kotor itu, tidak bisa didengarkan.”
Rahula menjadi ketakutan, dia buru-buru membuang air kotor yang berada di dalam ember. Sang Budha berkata lagi kepadanya, “Bawalah ember tersebut dan isilah dengan nasi!”
Dengan kesal hati karena merasa dipersalahkan Rahula berkata, “Ember untuk mencuci kaki sangat kotor, tidak boleh diisi dengan nasi yang bersih.”

Sang Budha berkata, “Rahula , engkau bagaikan ember yang kotor ini, ajaran yang begitu baik dan indah tidak bisa terisi dalam hatimu.” Rahula merasa sangat malu sekali.

Sang Budha lalu menggunakan kakinya menendang ember itu, sehingga menggelinding kian kemari, lalu dia bertanya, “Rahula apakah dirimu akan merasa sayang jika ember itu sampai pecah?”
Rahula menjawab, “Guru, ember ini adalah benda yang murah, harganya tidak mahal, tidak mengapa jika rusak karena ditendang!”
Sang Budha berkata lagi, “Dirimu persis seperti ember murahan ini, penuh omong kosong dan kebohongan. Orang lain tidak akan menghargai, juga tidak akan menghormati atau memberi perhatian.”

Selesai mendengarkan perkataan sang Budha, Rahula menangis tersedu-sedu. Sejak saat itu dia tidak pernah lagi berbohong, tekun mengasuh diri pada jalan kebaikan. Tak lama kemudian dia menjadi orang pertama dalam tantra yang mendapatkan buah status sebagai Arhat.

Setelah mendengar kisah tersebut, mari kita renungkan kembali apakah diri kita sendiri juga pernah berbohong? Ketika kita berbohong apakah bedanya perilaku kita dengan anak kecil yang berada dalam kisah tersebut?

Jika begitu mulai saat sekarang ini, kita harus lebih memperhatikan perilaku dan ucapan yang kita keluarkan, jadilah orang yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya.

Read More..

Kisah Inspirasi : Karena saya paling memahami isi hatinya

Karena tidak sempat membuat sarapan pagi, saya terpaksa membeli segelas sari kedelai dan tiga bakpao goreng ke kantor. Saya melihat rekan kerja yang duduk di depan saya sudah di tempatnya. Saya maju menghampirinya dan menyapanya, kemudian menyodorkan tiga bakpao goreng yang ada di tangan saya, seraya menanyakan apakah dia mau mengambil satu.

Rekan itu memandang saya lalu dengan tersenyum dia berkata, “Terima kasih saya sudah kenyang.” Sepatah kalimat jawaban yang sangat sederhana, telah mendekatkan jarak diantara kami berdua.

Walaupun rekan saya tidak terlalu menyukai bakpao goreng saya ini, tetapi karena sepatah kata sapaan yang hangat dari saya ini, sinar pandangan mata kami berdua saling bertatap ramah. Dalam hati masing-masing timbul semacam perasaan dekat, persahabatan, itu adalah sebuah kunci yang bisa membuka hati antara manusia dan manusia.

Saya pernah mendengar sebuah kisah:
Sebuah induk kunci (gembok) yang besar dan kokoh, tergantung di atas pintu besar, dengan menggunakan sebatang tongkat besi dan tenaga sembilan ekor lembu serta dua ekor macan untuk membuka induk kunci itu, masih tetap tidak bisa terbuka.

Datanglah sebuah anak kunci, perawakannya yang kecil dan kurus menyusup masuk ke dalam lubang induk kunci. Hanya dengan perlahan diputar, terdengar suara “klek”, induk kunci yang besar dan kokoh itu segera terbuka.

Dengan keheranan tongkat besi itu bertanya, “Mengapa saya menghabiskan tenaga sekian besarnya masih tetap tidak bisa terbuka, sedangkan Anda bisa dengan mudah membuka induk kunci bagai membalikkan telapak tangan?”

Anak kunci menjawab, “Karena saya paling memahami isi hatinya.

Hati setiap insan bagaikan pintu besar yang terkunci. Biarpun Anda menggunakan tongkat besi yang seberapa kasar pun tidak akan bisa membuka induk kunci itu. Satu-satunya hanya dengan mencurahkan perhatian, baru bisa mengubah diri kita menjadi anak kunci yang kecil dan halus, masuk ke dalam sanubari orang lain serta memahami orang lain.

Dengan sepatah kata sapaan yang sederhana telah bisa membuka simpul hati orang lain, kita harus lebih dulu memahami apa yang dibutuhkan oleh orang lain, baru bisa memberikan obat yang sesuai dengan gejala penyakitnya agar penyakit itu dapat segera disingkirkan.
Untuk membuka kunci hati antar manusia, tidak membutuhkan emas perak ataupun kekayaan yang berlimpah, hanya membutuhkan sepatah kata sapaan yang hangat sudah cukup.

Suatu hari dalam perjalanan pulang dari kantor, saya mengendarai mobil, ketika sampai di sebuah lampu lalu lintas di sebuah persimpangan jalan, saya melihat bayangan sekelibat seorang pejalan kaki yang mirip dengan Annie, rekan kerja saya. Segera saya membuka jendela mobil untuk memastikannya, ternyata tidak salah lihat, dia memang benar Annie.
Dengan suara yang agak keras saya menyapanya, “Hai Annie, mau kemana? Mau saya antarkan?” Dengan terkejut Annie menoleh untuk menengok, “Ah! Ternyata kamu ya, mobil saya ada di depan sana, saya hendak mengambil mobil saya. Terima kasih ya!” Sepatah kata-kata sapaan yang menaruh perhatian itu telah mendekatkan jarak diantara kami berdua, telah membuka kunci hati masing-masing orang.

Asalkan ada sepatah kata yang menaruh perhatian kepada orang lain, sudah bisa membangun persahabatan atau pertemanan yang sangat berharga, sudah bisa menyimpulkan sebuah perjodohan yang baik, mengapa tidak Anda lakukan dengan senang hati?
Read More..

Monday, July 26, 2010

Kisah Inspiratif : 4 orang kelaparan

Dahulu kala ada dua orang yang kelaparan, mereka berdua tidak memiliki uang sama sekali, dalam perjalanan mereka bertemu dengan seorang tua yang baik hati, memberikan kepada mereka sebuah alat pancing dan satu keranjang ikan segar.

Salah satu orang berpikir, asalkan saya menggunakan alat pancing tersebut untuk memancing ikan, di kemudian hari saya selamanya tidak perlu merisaukan pangan. Orang yang satunya lagi matanya memandang ke sekeranjang ikan dengan rakus, dia penasaran hendak segera menghabiskan sekeranjang ikan segar itu.

Dua orang masing-masing mempunyai pemikiran yang berbeda, akhirnya mereka mendapatkan sesuai dengan keinginan masing-masing. Karena sudah tak sabar hendak mencapai tujuannya, di samping itu mereka juga takut pihak lain akan berubah pikiran, maka kedua orang tersebut cepat-cepat memisahkan diri.

Orang yang mendapat sekeranjang ikan segar, dengan segera mencari sebuah tempat untuk menyulut api dan memasak semua ikan dalam keranjang itu. Setelah matang, dia melahapnya hingga habis. Sehingga di kemudian hari, orang tersebut meninggal kelaparan di samping keranjang ikan yang telah kosong.

Lantas bagaimana nasib seorang lagi? Dia sudah kelaparan hingga badan lemas, mata berkunang-kunang, dengan membawa tangkai pancing dia berjalan sambil merangkak (karena hampir kehabisan tenaga) menuju ke arah pantai. Ketika terlihat olehnya di depan terbentang lautan luas, sisa tenaga yang ada dalam dirinya telah terkuras habis. Dengan tangan masih menggenggam erat tangkai pancing, dia meninggal dunia.

Di kemudian hari, ada dua orang yang kelaparan lagi. Mereka sama seperti dua orang kelaparan yang sebelumnya, juga mendapatkan sebuah pancing dan sekeranjang ikan segar dari orang tua berbudi itu. Ketika mereka hendak berpisah, orang yang mendapatkan tangkai pancing berpikir, “Jika saya membawa pergi tangkai pancing tersebut, bagaimana kelak hidupnya jika sekeranjang ikan segar itu telah habis dimakan?”
Orang yang mendapatkan sekeranjang ikan segar itu juga berpikir, “Saya hampir mati karena kelaparan, walaupun saya ingin segera melahap habis ikan-ikan tersebut seorang diri, tetapi dia yang membawa tangkai pancing itu juga kelaparan. Jangan-jangan belum sampai di laut dia sudah mati kelaparan, bagaimana hal tersebut boleh terjadi?”

Dengan pemikiran yang demikian kedua orang itu bersamaan membalikkan badan, mereka saling mengutarakan pemikiran masing-masing kepada yang lain. Akhirnya mereka mengambil suatu keputusan membawa tangkai pancing dan sekeranjang ikan segar itu untuk bersama-sama pergi mencari laut. Dalam perjalanan, mereka sangat hemat mengonsumi bekal ikan, dan hati mereka dipenuhi dengan kegembiraan.

Setelah bertemu laut, mereka secara bergantian, bahu membahu memancing ikan sebagai santapan sehari-hari. Sejak hari itu pula mereka telah menjadi sahabat sejati, dengan mata pencaharian sebagai nelayan.
Beberapa tahun kemudian, mereka membangun rumah di tepi pantai. Masing-masing telah memiliki keluarga dan mempunyai beberapa anak. Mereka juga telah membuat kapal-kapal penangkap ikan milik sendiri, dan hidup bahagia.

Dari cerita di atas, kita bisa menarik suatu pelajaran dalam hidup. Seseorang jika hanya mementingkan keuntungan di depan mata saja, tidak akan bisa mengambil pilihan yang tepat. Dia hanya bisa mendapatkan kepuasan diri sesaat saja, nyawanya mungkin bisa hilang untuk selamanya karena keegoan dirinya itu.
Seseorang jika hanya bisa memikirkan dirinya sendiri, tidak mengerti bagaimana memikirkan orang lain, bukan hanya dalam hidupnya sangat sulit mencapai keberhasilan, perjalanan dalam hidup orang tersebut juga akan selalu dalam kesengsaraan serta penuh dengan kekecewaan atau frustrasi.


Read More..

Saturday, July 24, 2010

Kisah Inspirasi tentang Ibu berbohong

Source dari Email teman dan bagus banget buat perenungan

Sukar untuk orang lain percaya,tapi itulah yang terjadi, ibu saya memang seorang pembohong!! Sepanjang ingatan saya sekurang-kurangnya 8 kali ibu membohongi saya. Saya perlu catatkan segala pembohongan itu untuk dijadikan renungan anda sekalian.

Cerita ini bermula ketika saya masih kecil. Saya lahir sebagai seorang anak lelaki dalam sebuah keluarga sederhana. Makan minum serba kekurangan. Kami sering kelaparan.

Adakalanya, selama beberapa hari kami terpaksa makan ikan asin satu keluarga. Sebagai anak yang masih kecil, saya sering merengut. Saya menangis, ingin nasi dan lauk yang banyak. Tapi ibu pintar berbohong. Ketika makan, ibu sering membagikan nasinya untuk saya. Sambil memindahkan nasi ke mangkuk saya, ibu berkata : ""Makanlah nak ibu tak lapar."


PEMBOHONGAN IBU YANG PERTAMA.
Ketika saya mulai besar, ibu yang gigih sering meluangkan watu senggangnya untuk pergi memancing di sungai sebelah rumah. Ibu berharap dari ikan hasil pancingan itu dapat memberikan sedikit makanan untuk membesarkan kami. Pulang dari memancing, ibu memasak ikan segar yang mengundang selera. Sewaktu saya memakan ikan itu, ibu duduk disamping kami dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang bekas sisa ikan yang saya makan tadi. Saya sedih melihat ibu seperti itu. Hati saya tersentuh lalu memberikan ikan yg belum saya makan kepada ibu. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya. Ibu berkata : "Makanlah nak, ibu tak suka makan ikan."


PEMBOHONGAN IBU YANG KEDUA.
Di awal remaja, saya masuk sekolah menengah. Ibu biasa membuat kue untuk dijual sebagai tambahan uang saku saya dan abang. Suatu saat, pada dinihari lebih kurang pukul 1.30 pagi saya terjaga dari tidur. Saya melihat ibu membuat kue dengan ditemani lilin di hadapannya. Beberapa kali saya melihat kepala ibu terangguk karena ngantuk. Saya berkata : "Ibu, tidurlah, esok pagi ibu kan pergi ke kebun pula." Ibu tersenyum dan berkata : "Cepatlah tidur nak, ibu belum ngantuk."


PEMBOHONGAN IBU YANG KETIGA.
Di akhir masa ujian sekolah saya, ibu tidak pergi berjualan kue seperti biasa supaya dapat menemani saya pergi ke sekolah untuk turut menyemangati. Ketika hari sudah siang, terik panas matahari mulai menyinari, ibu
terus sabar menunggu saya di luar. Ibu seringkali saja tersenyum dan mulutnya komat-kamit berdoa kepada Illahi agar saya lulus ujian dengan cemerlang. Ketika lonceng berbunyi menandakan ujian sudah selesai, ibu dengan segera menyambut saya dan menuangkan kopi yang sudah disiapkan dalam botol yang dibawanya. Kopi yang kental itu tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang ibu yang jauh lebih kental. Melihat tubuh ibu yang dibasahi peluh, saya segera memberikan cawan saya itu kepada ibu dan menyuruhnya minum. Tapi ibu cepat-cepat menolaknya dan berkata : "Minumlah nak, ibu tak haus!!"


PEMBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT.
Setelah ayah meninggal karena sakit, selepas saya baru beberapa bulan dilahirkan, ibulah yang mengambil tugas sebagai ayah kepada kami sekeluarga. Ibu bekerja memetik cengkeh di kebun, membuat sapu lidi dan menjual kue-kue agar kami tidak kelaparan. Tapi apalah daya seorang ibu. Kehidupan keluarga kami semakin susah dan susah. Melihat keadaan keluarga yang semakin parah, seorang tetangga yang baik hati dan tinggal bersebelahan dengan kami, datang untuk membantu ibu. Anehnya, ibu menolak bantuan itu. Para tetangga sering kali menasihati ibu supaya menikah lagi agar ada seorang lelaki yang menjaga dan mencarikan nafkah untuk kami sekeluarga. Tetapi ibu yang keras hatinya tidak mengindahkan nasihat mereka. Ibu berkata : "Saya tidak perlu cinta dan saya tidak perlu laki-laki."

PEMBOHONGAN IBU YANG KELIMA.
Setelah kakak-kakak saya tamat sekolah dan mulai bekerja, ibu pun sudah tua. Kakak-kakak saya menyuruh ibu supaya istirahat saja di rumah. Tidak lagi bersusah payah untuk mencari uang. Tetapi ibu tidak mau. Ibu rela pergi ke pasar setiap pagi menjual sedikit sayur untuk memenuhi keperluan hidupnya. Kakak dan abang yang bekerja jauh di kota besar sering mengirimkan uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, pun begitu ibu tetap berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Malah ibu mengirim balik uang itu, dan ibu berkata : "Jangan susah-susah, ibu ada uang."


PEMBOHONGAN IBU YANG KEENAM.
Setelah lulus kuliah, saya melanjutkan lagi untuk mengejar gelar sarjana di luar Negeri. Kebutuhan saya di sana dibiayai sepenuhnya oleh sebuah perusahaan besar. Gelar sarjana itu saya sudahi dengan cemerlang, kemudian saya pun bekerja dengan perusahaan yang telah membiayai sekolah saya di luar negeri. Dengan gaji yang agak lumayan, saya berniat membawa ibu untuk menikmati penghujung hidupnya bersama saya di luar negara. Menurut hemat saya, ibu sudah puas bersusah payah untuk kami. Hampir seluruh hidupnya habis dengan penderitaan, pantaslah kalau hari-hari tuanya ibu habiskan dengan keceriaan dan keindahan pula. Tetapi ibu yang baik hati, menolak ajakan saya. Ibu tidak mau menyusahkan anaknya ini dengan berkata ; "Tak usahlah nak, ibu tak bisa tinggal di negara orang."


PEMBOHONGAN IBU YANG KETUJUH.
Beberapa tahun berlalu, ibu semakin tua. Suatu malam saya menerima berita ibu diserang penyakit kanker di leher, yang akarnya telah menjalar kemana-mana. Ibu mesti dioperasi secepat mungkin. Saya yang ketika itu berada jauh diseberang samudera segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Saya melihat ibu terbaring lemah di rumah sakit, setelah menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap wajah saya dengan penuh kerinduan. Ibu menghadiahkan saya sebuah senyuman biarpun agak kaku karena terpaksa menahan sakit yang menjalari setiap inci tubuhnya. Saya dapat melihat dengan jelas betapa kejamnya penyakit itu telah menggerogoti tubuh ibu, sehingga ibu menjadi terlalu lemah dan kurus. Saya menatap wajah ibu sambil berlinangan air mata. Saya cium tangan ibu kemudian saya kecup pula pipi dan dahinya. Di saat itu hati saya terlalu pedih, sakit sekali melihat ibu dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu tetap tersenyum dan berkata : "Jangan menangis nak, ibu tak sakit."


PEMBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.
Setelah mengucapkan pembohongan yang kedelapan itu, ibunda tercinta menutup matanya untuk terakhir kali.


Anda beruntung karena masih mempunyai ibu dan ayah. Anda boleh memeluk dan menciumnya. Kalau ibu anda jauh dari mata, anda boleh menelponnya sekarang, dan berkata, 'Ibu,saya sayang ibu.' Tapi tidak saya, hingga
kini saya diburu rasa bersalah yang amat sangat karena biarpun saya mengasihi ibu lebih dari segala-galanya, tapi tidak pernah sekalipun saya membisikkan kata-kata itu ke telinga ibu, sampailah saat ibu menghembuskan nafasnya yang terakhir.


Ibu, maafkan saya. Saya sayang ibu.....

-----------------


Sayangilah Ibu+Ayahmu selagi mereka masih hidup dan selagi kamu masih diberi umur oleh-Nya

Read More..

Pintar, Kurang Pintar

Yap.. hari ini saya mau mencoba berbagi kepada teman2 semua disini. Suatu tulisan kritis dari seseorang Guru di SMU Kolese De Britto Jogjakarta, yang dulu juga merupakan tempat saya menimba ilmu. Guru ini dulu salah satu guru favorite saya, guru kritis, penuh kata2 bermakna dan sangat berwibawa, yah waktu itu saya selalu menganggap beliau paling dewasa diantara guru yang lain. Sewaktu saya lulus dari SMU tersebut, saya selalu mengikuti Rubrik Artikelnya di salah satu koran daerah, cmn karena saya "diharuskan" untuk berpindah dari koran 1 ke koran lainnya, maka hilang sudah wacana favourite saya itu. Nah kali ini saya kebetulan menemukan artikel tulisan kritis beliau, maka saya mencoba sedikit berbagi kepada teman2 semua disini, yukk mari di baca agar semakin membuka cakrawala pikiran kita. ^_^

Bagaimana tanggapan kita terhadap pe ngelom pokan siswa yang pintar dan kurang pintar dalam kelas berbeda? Pertanyaan itu mengemuka dalam forum guru banyak sekolah, di Sleman, seminggu sebelum liburan berakhir. Asal-muasal pertanyaan berawal dari pengalaman di sekolah sendiri atau bisa juga melihat yang diterapkan di sekolah lain.

Ada bermacam-macam alasan yang dikemukakan ketika sebuah sekolah mengelompokkan siswa ke dalam kelas pintar dan kurang pintar. Satu alasan demi memudahkan pencarian siswa untuk me wakili sekolah dalam lomba-lomba kepandaian antarsekolah, alasan lain demi memudahkan guru yang mengajar di kelas, pun ada alasan demi menaikkan gengsi sekolah jika segelintir siswa pintar diekspose untuk berbagai perlombaan yang membawa nama sekolah.

Lain lagi cerita seorang rekan guru di seberang pulau yang harus bersitegang dengan kepala sekolah pada hari pertama, hanya karena sang kepala sekolah kurang memperhitungkan sebaran karakter dan latar belakang siswa ketika membagi kelas. Kepala sekolah atau guru yang tidak mengenal setiap pribadi siswanya pasti akan abai memperhitungkan faktor pemerataan karakter siswa demi terciptanya kelas yang hidup.

Guru ini menganggap penting kelas yang berisi beragam siswa, baik tingkat kecerdasan maupun kecenderungan perangai siswa. Pun, beranggapan bahwa kelas yang baik mestinya terjadi proses saling melengkapi antarpribadi siswa di dalamnya. Para guru di sekolah yang melakukan pengelompokan siswa semacam itu tahu membedakan rasanya mengajar di kelas-kelas pintar atau kurang pintar.

Di kelas yang berisi anak-anak yang tergolong pintar, guru dimudahkan dan disenangkan dalam banyak mengajar. Untuk kelas pintar, para guru akan menyanjung-nyanjung setiap prestasi yang dicapainya. Lain halnya ketika mengajar di kelas yang terlanjur dilabeli kelas kurang pintar, bahkan penuh problem. Ketika akan memasuki kelas yang terakhir ini sebagian guru menggerutu dan kehilangan gairah mengajar.

Jika pemilahan siswa yang pintar dan kurang pintar akhirnya memunculkan diskriminasi perlakuan guru terhadap siswa, orang tua manakah yang rela anaknya menjadi bahan percobaan dan diperlakukan tidak adil di sekolah? Guru manakah yang sanggup mengembalikan hakikat pendidikan yang memberikan penghargaan kepada setiap pribadi siswa? Ketidakrelaan para orangtua akan perlakuan yang diterima anaknya mestinya diikuti evaluasi dan penjernihan kembali pemikiranpemikiran yang mendasari pengelompokan siswa pintar dan kurang pintar.

Penelitian Carl Glickman (1991) menyimpulkan, tidakada keuntungan yang diperoleh dengan menempatkan siswa ke dalam kelas berdasarkan kemampuan akademisnya. Siswa yang berprestasi lebih tinggi tidak menunjukkan adanya peningkatan yang lebih baik ketika ia bersama dengan siswa-siswa yang berprestasi sama tingginya. Di sisi lain, siswa yang prestasi belajarnya kurang justru semakin menurun prestasi belajarnya ketika ia dikelompokkan dengan siswa lain yang memiliki prestasi setara.

Ada kebosanan yang dirasakan dalam kelas yang kurang pintar. Para siswa di kelas demikian mempunyai gambaran diri buruk, tidak sehebat kelas pintar. Kelas campuran dengan siswa yang beragam kemampuan akademiknya justru memunculkan persaingan yang berdampak positif.

Yang kurang pintar akan terpacu untuk belajar keras karena ada model teman sebaya. Pun, bagi mereka yang pintar, sekelas dengan yang kurang pintar menjadi kesempatan untuk mengasah hati dan kepeduliannya kepada sesama yang butuh bantuan.

Hal terakhir inilah yang sering dilupakan sebagai tugas sekolah yakni sekolah tidak pertama-tama mendidik yang sudah pintar, tetapi mendidik siswa dengan tingkat kemampuan seperti apapun. Sekolah bukan hanya memintarkan, tetapi juga mengasah hati siswa. Orang tua mana yang rela anaknya dicap tidak pintar?.


St. Kartono

Guru SMA De Britto,
Jogja

source : Harjo
Read More..

Monday, July 19, 2010

semakin banyak mengerti dan memiliki, semakin sulit untuk bisa riang dan gembira

Saya suka sekali dengan kisah analogi di bawah ini. Simple, jelas, singkat tapi terdapat makna yang dalam di kalimat2nya.. Memang apa yang dikatakan pada cerita di bawah adalah benar. Secara sadar atau tidak sadar, kita sebagai orang dewasa memang semakin banyak tau makin sulit berbuat yang benar. Kita sudah bukan manusia polos lagi. Kita banyak memiliki, mampu membeli tetapi sangat sulit memberi, maaf hanya memberi. Beberapa hari lalu, saya memiliki kebimbangan luar biasa, sebuah kisah nyata yang saya alami bersama seorang wanita yang sulit berjalan. Jujur saya sendiri juga mengalami hal ini, saya terlalu banyak berpikir, menimbang, ketakutan dan berakhir pada tindakan netral. Kisah saya ini suatu saat akan saya bagikan ke teman2, tp tidak sekarang ^_^. Oke langsung aja, Yu baca kisah di bawah, untuk mengasah pribadi kita menjadi lebih baik. Selamat membaca ^_^


Ada seorang gadis kecil memberikan saya sebuah lukisan yang digambarnya dengan pensil crayon.

Lukisan ini, digambar dengan konsep dua dimensi, tidak memakai konsep tiga dimensi yang stereoskopik, maka semua benda-benda dalam lukisan itu seperti rumah, mobil, pepohonan dan manusia semuanya seperti berbaring di atas lantai, bukan berdiri di atas lantai.

Kebanyakan orang dewasa sudah “berevolusi” sehingga sudah tidak bisa menggambar lukisan seperti itu.

Ada sebagian permainan yang sangat sederhana, anak kecil bisa memainkan permainan itu dengan riang bergembira, dengan sedikit permen-permen yang manis anak kecil bisa makan permen-permen itu dengan riang gembira.

Sebaliknya, banyak orang yang telah dewasa walaupun tinggal di rumah yang mewah dan setiap hari makan lobster tetapi mereka tidak bisa merasakan kegembiraan.

Sepertinya semakin banyak mengerti dan memiliki, semakin sulit untuk bisa riang dan gembira.

Hal tersebut disebabkan oleh pemikiran yang murni dan sederhana serta kehidupan biasa dengan materi yang sangat sederhana sudah sirna di alam dunia orang yang telah dewasa.
Read More..