Saturday, August 7, 2010

Pencerahan Bagi Pembohong

Orang yang sering berbohong akan membuat orang lain merasa benci. Hampir semua orang pernah mendengarkan kisah seorang pengembala yang berbohong ternaknya diserang serigala. Orang yang sering berbohong tidak akan dipercaya oleh kita semua, pada akhirnya yang rugi adalah diri sendiri.

Sebenarnya orang yang senang sekali berbohong, juga telah mencerminkan watak dan moralitas serta pengasuhan diri orang tersebut. Di zaman sekarang yang mengutamakan kepentingan materi dan nafsu keinginan, seringkali selaku orang tua, agar anak-anaknya kelak tidak dirugikan dalam masyarakat, lalu secara tidak sengaja, baik lisan maupun praktek mengajarkan mereka cara berbohong.

Untuk melindungi diri sendiri, acapkali ucapan yang keluar mengandung kebohongan. Hal ini sudah sering terjadi, merupakan suatu fenomena yang sangat umum. Orang zaman dahulu mendidik anak-anak mereka menuntut kebenaran dan kejujuran, bicara harus berdasarkan fakta yang ada, tidak boleh sembarangan. Ini adalah cara mendidik ortodoks yang sebenarnya.

Kisah di bawah ini berisikan pencerahan bagi orang yang berbohong :

Rahula, anak Budha Sakyamuni (Sidharta Gautama) ketika masih belum menjadi biksu, pada tahun di mana sang Budha mencapai pencerahan, Rahula yang masih belia juga pergi menjadi biksu kecil, dia mengangkat Sariputta menjadi gurunya.

Anak yang baru berusia belasan tahun itu, masih mempertahankan sifat kekanak-kanakannya yaitu senang bersenda gurau. Sifat tersebut tidak bisa diubah dalam jangka waktu yang singkat.
Rahula berada dalam lingkungan yang begitu hening dan berwibawa, tidak ada permainan yang bisa memuaskannya, karena itu dia merancang sebuah permainan yang mengasyikan bagi dirinya.

Setiap kali ada pengunjung yang datang dan bertanya keberadaan sang Budha, maka Rahula selalu membohongi mereka. Sang Budha yang tengah membaca di bawah pohon, akan dia katakan bahwa sang Budha sedang bermeditasi di pinggir kolam. Jika sang Budha sedang memberi ceramah kepada para murid di dalam kamar, dia menunjuk ke arah yang jauh dan berkata bahwa sang Budha sedang menyebarkan ajaran-Nya di suatu tempat.

Melihat pengunjung sibuk kian kemari mencari keberadaan sang Budha, Rahula tertawa riang dan mengejek kebodohan sang pengunjung itu.

Setelah sang Budha mengetahui perilaku Rahula yang suka berbohong itu, dia memikirkan sebuah cara untuk mendidik anak tersebut. Suatu hari sang Budha menyuruh anak tersebut mengambil satu ember air bersih, yang lalu digunakan untuk mencuci kaki. Setelah selesai mencuci kaki, sang Budha berkata kepada Rahula, “Minumlah air dalam ember ini.”
Rahula menjawab, “Air bekas mencuci kaki sangat kotor, tidak boleh diberikan kepada orang lain untuk diminum.”

Sang Budha berkata, “Rahula, ucapanmu bagai seember air kotor itu, tidak bisa didengarkan.”
Rahula menjadi ketakutan, dia buru-buru membuang air kotor yang berada di dalam ember. Sang Budha berkata lagi kepadanya, “Bawalah ember tersebut dan isilah dengan nasi!”
Dengan kesal hati karena merasa dipersalahkan Rahula berkata, “Ember untuk mencuci kaki sangat kotor, tidak boleh diisi dengan nasi yang bersih.”

Sang Budha berkata, “Rahula , engkau bagaikan ember yang kotor ini, ajaran yang begitu baik dan indah tidak bisa terisi dalam hatimu.” Rahula merasa sangat malu sekali.

Sang Budha lalu menggunakan kakinya menendang ember itu, sehingga menggelinding kian kemari, lalu dia bertanya, “Rahula apakah dirimu akan merasa sayang jika ember itu sampai pecah?”
Rahula menjawab, “Guru, ember ini adalah benda yang murah, harganya tidak mahal, tidak mengapa jika rusak karena ditendang!”
Sang Budha berkata lagi, “Dirimu persis seperti ember murahan ini, penuh omong kosong dan kebohongan. Orang lain tidak akan menghargai, juga tidak akan menghormati atau memberi perhatian.”

Selesai mendengarkan perkataan sang Budha, Rahula menangis tersedu-sedu. Sejak saat itu dia tidak pernah lagi berbohong, tekun mengasuh diri pada jalan kebaikan. Tak lama kemudian dia menjadi orang pertama dalam tantra yang mendapatkan buah status sebagai Arhat.

Setelah mendengar kisah tersebut, mari kita renungkan kembali apakah diri kita sendiri juga pernah berbohong? Ketika kita berbohong apakah bedanya perilaku kita dengan anak kecil yang berada dalam kisah tersebut?

Jika begitu mulai saat sekarang ini, kita harus lebih memperhatikan perilaku dan ucapan yang kita keluarkan, jadilah orang yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya.

0 comments:

Post a Comment