saya dapat wawancara sutradara dan pemainnya dari Tempo, seperti ini
TEMPO Interaktif, Jakarta - Film Cowboys in Paradise memicu kontroversi di Indonesia, terutama di Bali. Film dokumenter berdurasi 2 menit 33 detik tersebut bercerita mengenai pria-pria Bali penghibur wanita asing. Berikut wawancara sang sutradara Amit Virmani seperti diwartakan Twitchfilm.net.
Kontroversi film tersebut ternyata sudah terjadi sejak Maret. Setidaknya itu terungkap dari wawancara penulis Twitchfilm, Stefan, dengan Amit Virmani yang diwartakan Twitchfilm pada 16 Maret 2010.
Berikut ini wawancara Twitchfilm dengan Amit:
Twitch (T): Hai Amit. Saya dengar Anda bukan asli dari Singapura? Bisa cerita bagaimana Anda bisa sampai ke Singapura dan apa yang membuat Anda menjadikan Singapura sebagai basis tempat pembuatan film-film Anda?
Amit Virmani (AV): Saya besar di India, Indonesia, dan Hong Kong. Jadi rumah bagi saya adalah konsep yang tidak terikat di sekitar Asia Timur. Setelah kuliah di universitas di Amerika Serikat, saya memutuskan memulai karier saya di Singapura karena wilayah ini sangat berkaitan, baik secara budaya baik dalam hal bisnis, dengan seluruh Asia. Lucunya, sebenarnya dua tahun awal masa itu, saya hanya coba-coba. Anda seharusnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain ketika usia Anda 20 tahunan. Saya sudah berada di sini 14 tahun, masa terlama saya di satu negara.
T: Apa yang memutuskan Anda untuk menjadikan film sebagai karier? Dan apa yang membuat Anda memutuskan untuk membuat film dokumenter sebagai film feature pertama Anda?
AV: Dua kata: Austin, Texas. Itu merupakan kota film yang hebat dan saya belajar hanya 30 mil di sebelah utara kota tersebut. Saat itu, banyak pembuat film yang melakukan terobosan dari komunitas di sana. Di antaranya,: Robert Rodriguez, Wes Anderson, Richard Linklater. Memang saya adalah mahasiswa Asia yang belajar bisnis, tetapi lingkungan sekitar mempengaruhi saya. Teman-teman saya sangat senang dengan kamar asrama di UT Austin, tempat Michael Dell menjual komputer pertamanya. Tetapi saya tidak. Saya justru terpikat dengan fasilitas di mana Rodriguez membuat sebuah laboratorium farmatologi untuk mengumpulkan dana guna membiayai film El Mariachi. Atau berjalan di jalan-jalan yang dipakai untuk pengambilan gambar Slacker. Saya mencintai film. Tiba-tiba muncul ide gila bahwa saya bisa membuat film.
Mengenai dokumenter, Anda tidak bisa memiliki ide yang mendatangi Anda. Terkadang waktu juga menjadi sangat penting. Ketika saya mulai meneliti untuk Cowboys, saya ada di titik di mana saya menegaskan bahwa saya harus membuat film, apapun itu. Saya sudah terlalu lama hanya bermimpi untuk membuat film. Jadi, saya tidak peduli film perdana saya adalah dokumenter. Yang pasti saya tidak mau menunggu lagi untuk waktu yang tepat.
T: Kita sempat berbicara sebentar saat penayangan khusus film tersebut. Dan Anda menemukan anekdot menarik mengenai seorang bocah yang mencerahkan Anda mengenai Cowboys dan aktivitas mereka. Bisa Anda jelaskan?
AV: Sebenarnya, saya sebelumnya tidak tahu mengenai Cowboys dan fenomena serupa. Menurut saya, itu merupakan sebuah fakta yang menyenangkan. Para wanita berplesir untuk seks? Sementara pria memanfaatkan itu untuk mendapat uang? Semua orang senang. Tetapi saat itu saya tidak berpikir untuk membuat film mengenai itu.
Kemudian saya bertemu anak-anak di Bali, semua berusia sekitar 12 tahun dan mereka ingin menjadi pelayan seks untuk wanita Jepang. Nah saya menemukan cerita. Anda tidak akan pernah mendapatkan pengakuan serupa dari seorang gadis dengan begitu bersemangat mengenai karier itu di usia itu. Tidak di Bali, maupun Baltimore. Jadi saya bertanya apakah Cowboys yang membuat mereka bangga untuk mempertahankan martabat mereka? Apa yang membuat mereka menjadi semacam panutan bagi anak-anak ini? Itu bukan hanya kemunafikan chauvinistik, banyak hal di dalamnya. Saya rasa itu semua datang dari apa yang mereka lakukan. Anda harus menghargai kepercayaan diri mereka, daya tarik mereka.
Mereka juga mengaburkan batasan yang mungkin membuat para wanita merasa malu berada bersama mereka. Mereka melakukannya tanpa elemen transaksi yang dingin. Banyak orang menilai tidak ada perbedaan antara Cowboys dan gigolo. Tetapi saya melihat perbedaannya. Perbedaannya sangat jelas. Cowboys merupakan wajah yang paling bisa dilihat dari perdagangan seks laki-laki di Bali. Tetapi mereka buka pekerja seks.
Dan tentunya, apa yang dilakukan anak-anak muda tersebut adalah mempertanyakan ide tentang surga itu sendiri. Surga untuk siapa? Dan sampai kapan?
Jadi, semuanya masuk wilayah abu-abu. Seluruh pertanyaan tidak memiliki jawaban yang jelas. Sebagai pembuat film, ide itu sudah cukup bagi saya (untuk membuat film).
Kontroversi film tersebut ternyata sudah terjadi sejak Maret. Setidaknya itu terungkap dari wawancara penulis Twitchfilm, Stefan, dengan Amit Virmani yang diwartakan Twitchfilm pada 16 Maret 2010.
Berikut ini wawancara Twitchfilm dengan Amit:
Twitch (T): Hai Amit. Saya dengar Anda bukan asli dari Singapura? Bisa cerita bagaimana Anda bisa sampai ke Singapura dan apa yang membuat Anda menjadikan Singapura sebagai basis tempat pembuatan film-film Anda?
Amit Virmani (AV): Saya besar di India, Indonesia, dan Hong Kong. Jadi rumah bagi saya adalah konsep yang tidak terikat di sekitar Asia Timur. Setelah kuliah di universitas di Amerika Serikat, saya memutuskan memulai karier saya di Singapura karena wilayah ini sangat berkaitan, baik secara budaya baik dalam hal bisnis, dengan seluruh Asia. Lucunya, sebenarnya dua tahun awal masa itu, saya hanya coba-coba. Anda seharusnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain ketika usia Anda 20 tahunan. Saya sudah berada di sini 14 tahun, masa terlama saya di satu negara.
T: Apa yang memutuskan Anda untuk menjadikan film sebagai karier? Dan apa yang membuat Anda memutuskan untuk membuat film dokumenter sebagai film feature pertama Anda?
AV: Dua kata: Austin, Texas. Itu merupakan kota film yang hebat dan saya belajar hanya 30 mil di sebelah utara kota tersebut. Saat itu, banyak pembuat film yang melakukan terobosan dari komunitas di sana. Di antaranya,: Robert Rodriguez, Wes Anderson, Richard Linklater. Memang saya adalah mahasiswa Asia yang belajar bisnis, tetapi lingkungan sekitar mempengaruhi saya. Teman-teman saya sangat senang dengan kamar asrama di UT Austin, tempat Michael Dell menjual komputer pertamanya. Tetapi saya tidak. Saya justru terpikat dengan fasilitas di mana Rodriguez membuat sebuah laboratorium farmatologi untuk mengumpulkan dana guna membiayai film El Mariachi. Atau berjalan di jalan-jalan yang dipakai untuk pengambilan gambar Slacker. Saya mencintai film. Tiba-tiba muncul ide gila bahwa saya bisa membuat film.
Mengenai dokumenter, Anda tidak bisa memiliki ide yang mendatangi Anda. Terkadang waktu juga menjadi sangat penting. Ketika saya mulai meneliti untuk Cowboys, saya ada di titik di mana saya menegaskan bahwa saya harus membuat film, apapun itu. Saya sudah terlalu lama hanya bermimpi untuk membuat film. Jadi, saya tidak peduli film perdana saya adalah dokumenter. Yang pasti saya tidak mau menunggu lagi untuk waktu yang tepat.
T: Kita sempat berbicara sebentar saat penayangan khusus film tersebut. Dan Anda menemukan anekdot menarik mengenai seorang bocah yang mencerahkan Anda mengenai Cowboys dan aktivitas mereka. Bisa Anda jelaskan?
AV: Sebenarnya, saya sebelumnya tidak tahu mengenai Cowboys dan fenomena serupa. Menurut saya, itu merupakan sebuah fakta yang menyenangkan. Para wanita berplesir untuk seks? Sementara pria memanfaatkan itu untuk mendapat uang? Semua orang senang. Tetapi saat itu saya tidak berpikir untuk membuat film mengenai itu.
Kemudian saya bertemu anak-anak di Bali, semua berusia sekitar 12 tahun dan mereka ingin menjadi pelayan seks untuk wanita Jepang. Nah saya menemukan cerita. Anda tidak akan pernah mendapatkan pengakuan serupa dari seorang gadis dengan begitu bersemangat mengenai karier itu di usia itu. Tidak di Bali, maupun Baltimore. Jadi saya bertanya apakah Cowboys yang membuat mereka bangga untuk mempertahankan martabat mereka? Apa yang membuat mereka menjadi semacam panutan bagi anak-anak ini? Itu bukan hanya kemunafikan chauvinistik, banyak hal di dalamnya. Saya rasa itu semua datang dari apa yang mereka lakukan. Anda harus menghargai kepercayaan diri mereka, daya tarik mereka.
Mereka juga mengaburkan batasan yang mungkin membuat para wanita merasa malu berada bersama mereka. Mereka melakukannya tanpa elemen transaksi yang dingin. Banyak orang menilai tidak ada perbedaan antara Cowboys dan gigolo. Tetapi saya melihat perbedaannya. Perbedaannya sangat jelas. Cowboys merupakan wajah yang paling bisa dilihat dari perdagangan seks laki-laki di Bali. Tetapi mereka buka pekerja seks.
Dan tentunya, apa yang dilakukan anak-anak muda tersebut adalah mempertanyakan ide tentang surga itu sendiri. Surga untuk siapa? Dan sampai kapan?
Jadi, semuanya masuk wilayah abu-abu. Seluruh pertanyaan tidak memiliki jawaban yang jelas. Sebagai pembuat film, ide itu sudah cukup bagi saya (untuk membuat film).
gmn? salah atau ga salah? hehehe, ya kita ga tau, cmn kayaknya banyak salahnya ya, hahaha
untuk yg penasaran videonya bisa download di sini, tapi cuman cuplikan sih : http://tiny.cc/vty6k
0 comments:
Post a Comment